Rabu, November 23

-kenangan terindah-

JAY OH JAY Aku mengenalnya sejak pertama kali kuliah. Saat itu aku sedang melakukan pendekatan dengan Chie. Perkenalan kami sangat singkat, namun dari tatapan mata masing- masing aku dan dia langsung menyelami arti sebuah keakraban. Karena seperti kata pepatah kuno, hanya setan yang mengerti setan. Waktu itu Jay juga sedang mengejar Chie. Jadi kami memutuskan untuk fair-play. Ah, memang teman lebih berharga daripada pacar. Akhirnya kami bersepakat untuk mengabaikan Chie yang kemudian mengamuk dan memutuskan untuk mengikrarkan tali persahabatan antara kami bertiga. Jay, kembaranku. Jay, sahabat terbaikku. Chie adalah gadis penuh pesona. Gadis yang satu ini sangat unik. Jarang mungkin kita melihat seorang gadis indo dengan kulit putih, hidung mancung dan rambut kemerahan duduk menghabiskan waktu bersama teman-temannya di warung sate di pinggir jalan, dengan celana jeans sobek di lutut dan tangan yang melambai-lambai ke segala arah, setiap kata-kata riang keluar dari bibirnya. Itulah Chie. Gadis kaya yang lebih suka naik becak daripada Mercedes. Yang lebih suka minum es dengan murahan daripada minuman-minuman mahal yang tersedia di kafe-kafe. Itulah sahabatku, gadis cerewet yang berbicara seperti kereta api, yang kukenal sejak penataran mahasiswa baru. Chie, sederhana di balik gemerlap kehidupannya. Chie, gadis penuh pesona. Januari 1999 "Raaayy! Selamat ulang tahun..!" Jay memukul kepalaku dengan sisi organizernya. "Ach," erangku. "Sial lu, Jay." Jay tertawa, mengambil tempat di kursi di depanku, menatapku lekat dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. "Ray, tambah tua aja lu." Aku tertawa dan menghisap Marlboro di jepitan bibirku dalam-dalam, tersedak saat sesuatu menutupi mataku. "Raay! Siapa coba?" Kudengar tawa Jay beriring tawaku sendiri. Kuangkat telapak tangan di mataku, menariknya ke depan sehingga pipi gadis itu menyentuh pipiku. "Hadiah ulang tahun yang indah..." tawaku. "Hei! Hei!" Jay berteriak gaduh. Sementara kurasakan cubitan jari-jari mungil itu di pipiku. Malang, pukul 01 :15 WIB Aku menikmati udara malam pegunungan ini, seakan-akan aku sendirilah yang memegang peranan hantu dalam kegelapan ini. "Ray!" Sebuah suara lirih berbisik di telingaku. "Chie sudah tidur." Kupalingkan wajahku, menatap Jay yang sudah duduk di sebelahku. Jay menatap kerlipan lampu kota di bawah kaki kami. Aku dapat melihat alis matanya yang berkerut. "Untukmu?" senyumku sambil menatapnya. Jay berpaling, menatap pandanganku. Bibirnya sedikit terbuka. Jay menolehkan kepalanya ke arah mobil. Tertawa kecil. "Ah.. terima kasih," suaranya terdengar sendu, "Kamu?" "Aku sudah menimbang- nimbang," jawabku. "Kamu lebih serius, kan?" Jay menatap lekat pandangan mataku. Aku hanya tertawa saat kepalannya menyentuh lenganku. "Thanks, but no thanks." Kami tertawa berbarengan. Dan kubiarkan Jay larut dalam lamunannya. Ah, Jay. Masih banyak gadis untukku. Dan hanya satu gadis untukmu. Seandainya hal ini benar, mungkin pelabuhanmu sudah dekat di depan mata. Sementara aku pun akan tetap tenggelam dalam tarian jemariku di atas tuts-tuts mesin tik tua kesayanganku, dan gadis-gadisku tentu saja. Dari sudut mataku, kulihat gadis itu meringkuk di jok belakang. Wajahnya melukiskan kebahagiaan dan ketenangan. Di sebelahku, Jay menikmati kepulan asap rokoknya yang membuyar di balik dedaunan pohon yang mengelilingi kami. Surabaya, pertengahan Mei 1999 Kupeluk tubuh itu erat-erat. Merasakan kehangatan air matanya yang membasahi dadaku. "Ray..." kudengar gadis itu meratap terisak dalam dekapanku. "Chie, sudahlah." "Ray, Papa udah nggak ada." Kuusap belakang kepalanya, menekan tengkuknya, berusaha melegakannya. "Ray tahu." Chie menangis dalam pelukanku, membuatku sejenak mengingat ayahku sendiri yang selalu berkutat dalam pertempurannya dengan idealisme yang kumiliki. Terkadang aku membayangkan bagaimana rasanya kehilangan seorang ayah. Mungkin aku takkan sesedih Chie, mungkin juga. "Ray! Di dalam saja!" Mama Chie memanggilku masuk. Kupeluk pundak Chie dan menggandengnya, merasakan tubuh itu menggigil di lenganku. Saat itu aku sangat ingin memarahi Jay. Sebagai seorang kekasih dan seorang teman, tidak seharusnya ia meninggalkan Chie seperti ini, dan sekedar meneleponku untuk menyampaikan, "Ray, maaf aku tidak bisa ke rumah Chie. Aduh. Aku benar-benar ada masalah dengan Papa, jadi aku nggak bisa keluar." Ah, hanya segitu saja? Jay. Terkadang aku menyesal menyerahkan Chie kepadanya. Seandainya aku... Surabaya, awal Juni 1999 Persiapan ujian benar-benar membuat kami sibuk. Aku mulai berkeliling kota mengumpulkan foto copy makalah dan paper yang dibutuhkan. Aku memang malas kuliah, aku harus mengakuinya. Yah, aku sudah merasa cukup senang dengan kehidupanku sekarang tanpa harus terbebani kuliah seperti orang-orang kebanyakan yang lebih memuja akademik daripada skill. "Halo?" "Ray?" "Oh, Chie. Ada apa? Kok malam-malam?" Sejenak keheningan terdengar dari seberang, membuatku bertanya-tanya. "Aku... aku kangen Papa," suara gadis itu terdengar gemetar. Ah, Chie. Masih tetap larut dalam kesedihannya. "Aku besok ujian, Chie." Kulihat jam dinding yang menunjukkan pukul 23.30 malam. "Ray..." Ah! Selalu seperti ini. Rumah Chie terlihat sedikit gelap. Kuparkir mobilku di depan pekarangan rumahnya. Chie melambaikan tangannya dari atas balkon. Wajahnya terlihat berseri-seri, membuatku sedikit mendongkol karena masuk dalam jebakannya. "Hihihi, ada Ray. " Chie mencondongkan kepalanya ke depan dari balik pagar dengan sikap manja. "Pulang dulu, ya?" ucapku, membuatnya menarik kepalanya dan meruncingkan bibirnya. Kuulurkan tanganku ke sela jeruji pagar, menarik pipinya, membuatnya mengerang, membuka pagar dan memukuli pundakku. "Ray, bagaimana menurutmu tentang keperawanan?" Ahk. Nyaris saja kopi susu itu keluar dari mulutku dan membasahi foto copy makalah di atas meja. "Hah? Kenapa dengan itu?" Chie terdiam sesaat, menghentikan gerakan ballpoint di tangannya. "Chie?" tanyaku. "Nih, rokok." Chie menyambar bungkus Marlboro di tanganku dan membuangnya ke sudut ruangan. Menjentikkan jemarinya memanggil saat aku tergopoh-gopoh memungut rokok mahalku sambil menggerutu. "Dasar! Siapa suruh diam," kataku setelah mendudukkan diriku di sampingnya, dan menyimpan bungkus rokok itu di tempat yang aman. "Ah, Ray," Chie mendesah. "Aku hanya bertanya," kata Chie. "Masalah apa?" tanya Ray. "Yang tadi itu," kata Chie. "Chie, bagiku keperawanan itu sama saja bagi semua orang. Keperawanan itu datang dari hati, bukan dari sekedar selaput dara ataupun yang biasa disebut orang-orang darah malam pengantin." Kunyalakan batang rokok di sudut bibirku. "Seandainya saja pikiran kita sudah lebih terbuka, mungkin Indonesia sudah kehabisan perawan. Hahahaha..." Tapi Chie hanya terdiam, memeluk kedua lututnya. Membuatku salah tingkah dengan kegelianku sendiri. Sial benar. "Ray..." "Ya?" "Kukira aku sudah tidak perawan lagi..." Surabaya, Keesokan Harinya Kucengkeram kerah baju Jay dalam genggamanku, dan mengangkat kepalanya mendekatiku, "Maksudmu apa?" desisku berang. Jay memandang mataku, dan melengos ke arah lain. "Maaf, Ray." "Hanya maaf?" Gertakku sambil mengguncang kerah bajunya. "Cukup segitu?" Jay terdiam. Kulepaskan kerah bajunya. "Kenapa tidak terus, Ray?" "Aku... aku akan membiarkanmu dalam dosa- dosamu." Kulangkahkan kakiku meninggalkannya. Meninggalkan Jay. Meninggalkan... "Ray," Jay berseru di belakangku, "Ingat, sobat. Inilah kita." Aku tak mau menoleh. Aku tak ingin mendengarnya. Ucapan itu sangat pahit dan mengena. Dan karena itu pulalah aku tidak menghajarnya, walaupun itu adalah tujuanku sejak semula. Aku juga seperti dia. Seperti Jay. Sibuk mendoktrin gadis-gadis tentang kenikmatan free-sex. Sibuk memburu keperawanan bidadari-bidadari lugu. Tapi bukan Chie. Karena Chie adalah seorang sahabat. Bukan gadis yang berhak masuk dalam katalogku. Setan, umpatku dalam hati. Dan itulah Jay, kembaranku, sobat terbaikku. Surabaya, awal Agustus 1999 "Chie..." Kurasakan nafas Chie yang memburu saat mulutnya melumat bibirku dan jemarinya membuka kancing-kancing bajuku. "Chie, jangan!" Chie mendesah. Menghentikan lumatan bibirnya, menjatuhkan kepalanya di dadaku. Air mata mulai membasahi dadaku yang terbuka. "Chie..." desahku, mengusap ubun-ubun kepalanya. "Ray..." "Hmm..." "Kamu pikir akan ada yang mau menikahiku kelak?" Ah, Chie. Pertanyaan yang sangat sukat untuk kujawab. Apalagi di saat-saat seperti ini. Di saat aku pun berjuang melawan desisan hawa nafsu yang bergejolak dalam diriku. "Ray..." "Ada, pasti ada suatu saat nanti," desahku. "Seorang cowok keren dengan pikiran terbuka?" "Minimal bule, deh." Kurasakan Chie meremas lenganku, memberikan respon atas guyonanku yang nyaris tidak pada tempatnya. "Bule? Kalau kamu?" Chie menghela nafasnya. Aku, aku? Ah. "Iya." "Sungguh, Ray?" Chie mengangkat kepalanya, senyumnya mengembang di sela air mata yang mengaliri pipinya. "Tentu, seandainya Enni sudah menikah dengan orang lain dan aku masih belum bisa menemukan pelabuhanku." Chie meruncingkan bibirnya, dan menjatuhkan kepalanya kembali di dadaku. Menggerakkan telunjuknya menelusuri garis-garis dadaku, membiarkanku tertawa kecil. "Kamu sama saja dengan mereka, Ray. Egois." Tuduhan itu membuatku terdiam. Benarkah? "Ray, kamu tahu?" "Apa?" "Masalah Jay. Waktu itu... aku yang memintanya." "Ah?" Surabaya, Keesokan Harinya "Ray, si pemburu. Menemuiku dan meminta maaf?" Kutatap mata Jay, mencoba menyelami perasaannya, sama seperti dulu. Namun yang kutemukan bukanlah pancaran liar dan haus yang biasa kurasakan saat-saat kami masih bersama. Ini pancaran yang jauh lebih dewasa, yang membuatku merasa demikian kecil di hadapannya. "Jay, Chie menyuruhku ke sini. Aku butuh penjelasan." "Sayang, emosimu membuyarkan penjelasanku waktu itu." "Maaf," desahku, bahkan kini aku pun tak mampu memandangnya. "Hanya maaf?" Jay tertawa. "Cukup segitu?" tanya Jayu lagi. Ironis. Namun aku tak tahu harus
tertawa ataukah menangi

Tidak ada komentar: